Skip to content Skip to navigation

3 TAHUN PEMERINTAHAN JOKOWI-JK, GMKI JAKARTA GELAR DISKUSI PUBLIK

Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies R. Baswedan dan Sandiaga S. Uno pada Senin  16 Oktober 2017 di Istana Negara oleh Presiden RI Joko Widodo, merupakan bagian dari proses kinerja pemerintahan Jokowi-JK, mengingat status DKI Jakarta yang adalah Ibukota Negara Republik Indonesia, sehingga sangat diperlukan hubungan harmonis antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terlebih mengingat Jokowi pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta sebelum menjadi Presiden.
 
Masa kerja pemerintahan Jokowi-JK saat ini sudah memasuki masa tiga tahun, yakni pada 17 Oktober 2017 kemarin, dalam rangka memperingati 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, BPC Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia - Jakarta (GMKI Jakarta) menggelar pertemuan dengan berbagai elemen organisasi kepemudaan, sekaligus melakukan Diskusi Publik dengan Tema: “Mengembalikan Peran Mahasiswa dan Pemuda sebagai mitra kritis Pemerintah dalam rangka memperingati 3 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla”, kemarin (17 Oktober 2017) di Kafe Bakoel Coffee, Cikini, Jakarta Pusat. 
 
Diskusi mengundang hadir pembicara Sekjen DPP KNPI Sirajuddin A. Wahab, Sekjen Prodem Satya Purwanto (Komeng), Ardhian Sumadhijo (Ketua Bidang Organisasi dan Jaringan Rumah Gerakan 98), dan Tokoh Buruh Nasional Prof. Muchtar Pakpahan (Pakar Hukum Tata Negara FH UKI).
 
Ketua BPC GMKI Jakarta Agung Tamtam Sanjaya dalam sambutan diskusi, mengemukakan bahwa diadakannya diskusi publik sebagai bentuk nyata kekritisan mahasiswa terhadap situasi Bangsa dan Negara Indonesia saat ini, terutama para mahasiswa yang tergabung dalam GMKI Jakarta. “Ini bukti bahwa mahasiswa sekarang ini tidak hanya diam melihat persoalan yang ada, terutama persoalan-persoalan yang tercipta dalam masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla”.
 
Prof.Mochtar Pakpahan pada diskusi 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK, mengemukakan bahwa dalam melakukan evaluasi terhadap pemerintahan Jokowi-JK ada 2 tolak ukur yang digunakan, yaitu pendekatan konstitusi dan pendekatan janji politik. "Dalam Alinea ke 4 pembukaan UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa amanat konstitusi yang tersirat dalam Pasal 27 tentang jaminan kehidupan yang layak, Pasal 28 tentang jaminan kebebasan beribadah masih belum terealisasikan oleh pemerintahan Jokowi-JK, belum lagi menyoal kebebasan berserikat yang masih sulit hal itu tercermin dalam begitu sulitnya para buruh membentuk serikat buruh dalam suatu perusahaan, lalu adanya inkonsistensi pemerintah dalam penegakan hukum dalam kasus-kasus sengketa perburuhan yang banyak merugikan buruh. Lalu dalam pendekatan janji politik banyak juga janji Jokowi pada saat kampanye yang akhirnya diingkari, seperti penyusunan kabinet yang tidak transaksional, revolusi mental yang gagal, tercermin dengan banyaknya Kepala Daerah yang ditangkap KPK. Kemudian jargon Trisakti yg selalu didengungkan Jokowi ketika kampanye nyatanya hanya sekedar ucapan belaka" ujar Muchtar.
 
Lebih lanjut menurut pria yang juga Tokoh Buruh dari SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), evaluasi dalam bidang ketenagakerjaan, masih belum tersedia lapangan pekerjaan dan sistem outsorching yg justru tidak memberikan jaminan kehidupan yg layak bagi buruh.
 
Sementara Ardhian Sumadijo, mantan aktivis 98, menyampaikan dalam perspektif menjalankan janji-janji kampanye, memang tidak bisa seideal yang kita bayangkan. Dan ada 2 tolak ukur dalam melakukan evaluasi pemerintahan sekarang yaitu Tata kelola SDA dan dari segi politik, demokrasi dan hukum. "Dari segi tata kelola SDA, pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan SDA yang sesuai dengan amanat konstitusi. Bahkan para menteri di kabinet cenderung tidak seirama dalam mengelola pemerintahan, misalnya dalam hal divestasi freeport ternyata apa yang disampaikan Menko Maritim adalah sebuah kebohongan belaka, serta tidak transparannya pemerintah dalam menyampaikan hasil penerimaan tata kelola migas. Kemudian dari segi demokrasi, politik dan hukum, fenomena demokrasi cenderung bergeser ke arah yang tidak lebih baik. Dimana demokrasi transaksional semakin masif dari mulai tingkat pusat sampai dengan di daerah".
 
Satyo Purwanto(Komeng), menjelaskan "Saat ini gerakan mahasiswa terpolarisasi dan tidak memiliki musuh bersama. Pemerintahan hari ini menuju pemerintahan neoliberalisme paripurna, hal itu terlihat dengan UU Penanaman Modal yang liberal dan berpihak pada para konglomerat. Lalu hutang negara membengkak, kenaikan tarif dasar listrik. Dari segi perekonomian, hari ini terjadi penurunan daya beli masyarakat dan hal tersebut memang sesuatu yang nyata di masyarakat.
 
Sekjen DPP KNPI Sirajudin Abdul Wahab, mengungkapkan pemikirannya, "Perbedaan situasi antara zaman orde baru dengan pasca reformasi, mengakibatkan mahasiswa kehilangan spirit gerakan hal itu disebabkan kekuasaan yang tidak tersentralisasi. Beliau juga berpesan agar budaya literasi dan diskusi harus terus digelorakan, karena mengkritik pemerintah tidak harus selalu turun ke jalan lewat jalur demonstrasi. Dan juga gerakan mahasiswa harus menjaga kekompakan dan kesolidan dalam menyikapi situasi kebangsaan hari ini". (DPT)
Share

Advertorial