
Proses penyelenggaraan Pemilu Bersamaan antara Pileg dan Pilpres pada tahun 2019, sekalipun masih cukup panjang waktu yang tersisa, namun dinamika kontestasi sudah marak terlihat dalam berbagai media, khususnya media sosial.
Sebagaimana pemberitaan Gerejani Dot Com beberapa waktu lalu, Pemilu 2019 memunculkan satu fenomena baru, yakni tren pemanfaatan situs dan aplikasi jajak pendapat/survey, seperti strawpoll untuk sosialisasi sekaligus melakukan penjajakan potensi keterpilihan caleg maupun capres.
Pemanfaatan media sosial maupun media komunikasi berbasis information communication technology lainnya, sudah sangat kental dalam proses kontestasi seperti pemilu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat, yang merupakan negara produksi berbagai media sosial dan ICT media tersebut.
Pemanfaatan media sosial maupun media komunikasi berbasis ICT lainnya, selama penggunaannya bersifat positif, tentu tidak akan menjadi masalah, tetapi fakta dan realitas selama ini, kerap yang menjadi persoalan adalah pemanfaatan yang bersifat negatif. Penyebaran ujaran kebencian, berita palsu, kampanye negatif, dan sebagainya.
Tekno.kompas.com pada 28 November 2016, pernah memberitakan tentang maraknya pemberitaan palsu (hoax) pada proses Pilpres Amerika Serikat. Dikatakan, beberapa bulan sebelum masa pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS), media sosial dibanjiri dengan berbagai berita palsu (hoax). Setelah Pilpres AS usai, baru ketahuan berbagai pihak yang membuat berita palsu itu. Penghasilannya pun mencapai miliaran rupiah. Kebanyakan pembuat konten untuk situs berita palsu tersebut datang dari kalangan remaja.
Salah satu pembuat hoax adalah Victor, seorang remaja laki-laki berumur 16 tahun dari Veles, sebuah kota kecil di Makedonia. Menurut penelusuran yang dilakukan media Channel 4, Victor dan ratusan remaja lainnya berperan sebagai editor yang berisikan berbagai berita palsu. Viktor sendiri bekerja di situs Total News. Tidak disebutkan dari mana sumber uang tersebut. Yang pasti, satu orang bisa meraup uang tunai sebesar 200.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,6 miliar dari pekerjaan ini, demikian diberitakan https://tekno.kompas.com 28 November 2016.
Tidak jauh berbeda dengan realitas di Amerika Serikat, di Indonesia pun saat Pilpres 2014, marak diwarnai oleh kampanye menggunakan media sosial. Dewan Pers bersama Indonesia Indicator dan dukungan kedutaan Denmark, pada 2014 melakukan studi riset dialog demokrasi di Twitter terkait Pemilihan Presiden 2014, penilitian dilakukan di situs mikroblogging itu dari periode 4 Juni hinggal 9 Juli 2014. Dari penelitian itu didapatkan, pada pilpres tahun 2014 lalu terdapat 1.800.000 akun twitter aktif yang melakukan postingan. Jumlah postingan mencapai 13.934.320 twets dan terbagi pada 50.286 akun perorangan, dan 211.752 jumlah kicauan, demikian diberitakan news.detik.com pada 16 Juni 2015.
Sementara itu, www.cnnindonesia.com pada 2 Desember 2016, mengungkapkan informasi tentang nilai rupiah yang besar dibalik masifnya penyebaran hoax. Komunitas Masyarakat Anti Hoax membeberkan 'otak' di balik penyebaran berita dan informasi hoax di Indonesia yang memang semakin masif. Mereka bahkan mendapat untung ratusan juta rupiah. "Kemarin ada yang hitung analisisnya satu tahun bisa sampai sekitar Rp600 sampai 700 juta," kata Septiaji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti Hoax.
Pantauan Gerejani Dot Com pasca pendaftaran Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno sebagai peserta Pilpres 2019, kembali marak berbagai informasi maupun berita yang bernuansa hoax, kampanye hitam/negatif, dan sebagainya, termasuk berita-berita usang yang dirilis kembali.
Semoga masyarakat saat ini dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari pelaksanaan Pilpres 2004, 2009, dan 2014, yang begitu masif ‘perang’ opini dan berita, termasuk hoax, bahkan marak keterlibatan pasukan tempur yang disebut Tim Buzzer, yang dikatakan bernilai kontrak puluhan hingga ratusan juta rupiah, untuk pemilu 2019 nanti, dapat lebih bijak dan berhati-hati dalam merespon dan mencermati berbagai info dan pemberitaan yang berseliweran dijagad media sosial maupun media berbasis ICT lainnya. Mari kita "Bijak Bersosmed, Waspada Hoax dan Hatespeech". (DPT)
