Skip to content Skip to navigation

BPK GUNUNG MULIA GELAR DISKUSI REFORMASI GEREJA

Penerbit buku kristen BPK Gunung Mulia, yang bekerja sama dengan PGI, PIKI, dan GAMKI, untuk yang ketiga kalinya menggelar diskusi dalam rangka memperingati 500 tahun Reformasi Gereja. Diskusi serial ketiga mengusung tajuk "Menjembatani Salah Pengertian diantara Protestan dan Katolik", didasari isi buku seri 'SELAMAT' yang ditulis Pdt Andar Ismail, yang telah diterbitkan tahun 2017, juga diterbitkan dalam rangka 500 tahun Reformasi Gereja. Diskusi diadakan di Aula BPK Gunung Mulia Jakarta Pusat, pagi hingga siang tadi (2 Juni 2017), dengan menghadirkan narasumber Pdt Andar Ismail dan Rm J. Hariyanto, SY. Diskusi dimoderatori Edy Siswoyo dari DPP PIKI. Turut hadir bersama sekitar 100 orang peserta, sejumlah tokoh diantaranya Pdt (Em) Weinata Sairin, Audy Wuisang (Sekjen DPP PIKI), Jeirry Sumampouw (Kahumas PGI), dan Pdt. Ferry Haurissa (GBI). Romo Hariyanto dalam diskusi tersebut, mengungkapkan "Marthin Luther pada awalnya mengkritik cara hidup pemimpin gereja, mempersoalkan pastoral kepemimpinan gereja saat itu". Bagi Romo yang pernah bertugas di Semarang, gerakan reformasi gereja itu ibarat pisahnya rumah protestan dan katolik. Keterpisahan ini membuat satu sama lainnya saling tidak mengetahui kondisi masing-masing, "Ini menjadi salah satu sumber masalah dalam hubungan katolik dan protestan" demikian ujar Romo Hariyanto. Realitas hubunga katolik dan protestan di Indonesia, tidak sama dengan yang negara lain. Di Indonesia, ada perbedaan tradisi keagamaan, perbedaan teologi, terpenting perbedaan politik. Katolik di Indonesia dibawa oleh Portugis, sedangkan Protestan dibawa oleh Belanda (VOC). Pada jaman dulu, gereja katolik tidak terlibat dalam kekuasaan politik kolonial. Hal ini beda dengan katolik di Filipina dan Spanyol. Selain pengaruh dari Portugis, katolik diindonesia ada juga yang dipengaruhi katolik belanda. Kontak katolik dan protestan diantaranya rebutan anggota, dan ini bagaikan mancing diakuarium, bukan dilautan, demikian ujar Romo. Romo mengungkapkan bahwa pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus mengeluarkan tulisan yang menyatakan "Kita tidak lagi menganggap baptisan dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai orang sesat, tapi saudara terpisah". Sesudah PD 2, katolik dan protestan sudah menyadari kekristenan gagal, PD 2 juga mengakhiri era kolonialisme 3G (gold, glory, gospel). Perkembangan terkini, jumlah gereja berbasis tokoh-tokoh reformasi, kalah banyak dengan gereja-gereja pantekostal , hal ini dikarenakan ada tren window shopping dalam bergereja. Banyak jemaat yang riil aktif beribadah disejumlah gereja (selain gereja mereka berjemaat). Pdt (Em) Andar Ismail, yang belum lama ini mengeluarkan buku "Selamat Membarui", menjelaskan sekalipun buku tersebut didorong oleh semangat memperingati 500 tahun reformasi gereja, namun bukan buku berisi reformasi gereja, hanya penerbitannya pas ditahun genapnya 500 tahun reformasi gereja. Pendeta Andar mengungkapkan rasa kagumnya kepada Sri Paus. "Sri Paus mengawali gerakan perayaan 500 tahun reformasi gereja, dengan memimpin ibadah bersama di gereja protestan di Swedia pada 2016, sementara gereja-gereja protestan di Indonesia masih terkesan biasa-biasa saja". Perayaan 500 tahun reformasi gereja di Eropa, sudah sejak Oktober 2016, berbagai gereja, penerbit menerbitkan buku-buku tentang reformasi gereja. Realitas relasi katolik dan protestan di Indonesia, Pendeta Andar mengatakan bahwa, kebersamaan katolik dan protestan pada konteks nasional sudah berjalan, bahkan Alkitab terbitan LAI sudah bisa diterima LBI (Katolik), yang jadi masalah hingga kini, pada tingkat gereja lokal masih belum terjadi kebersamaan secara signifikan. "Ini tugas pendeta gereja lokal untuk membangun relasi kerjasama tersebut, agar pada tingkat jemaat tidak lagi terjadi perbedaan pemahaman dan sikap sebagai 'Corpus Christy' (tubuh Kristus). Menurut Pendeta Andar, antara Gereja Katolik dan Protestan ada beda karunia, Tuhan tidak memberikan kita karunia yang sama, dan mestinya ini bisa menjadi alasan untuk saling memahami, saling bekerjasama, saling mempelajari. "Buku ini juga menyebut Loyola sebagai tokoh reformasi, sementara selama ini bagi protestan, Loyola dianggap kontra reformasi" demikian diungkapkan Pendeta Andar. "Sekarang tugas penting para pendeta dan pastor gereja lokal, untuk dapat melakukan pendekatan membangun jembatan kebersamaan antar jemaat" demikian pungkas Pendeta Andar. (DPT)

Share

Advertorial