
Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) indonesia dalam rangka menyongsong peringatan 5 abad Reformasi Gereja ditahun 2017 nanti, telah menyelenggarakan diskusi dengan narasumber tokoh-tokoh lembaga non-aras, yakni MUKI (Majelis Umat Kristen indonesia), API (Asosiasi Pendeta Indonesia), dan BAMAG LKK Indonesia (Badan Musyawarah Antar Gereja Lembaga Keagamaan Kristen). DIskusi diadakan berbarengan dengan pelantikan DPD Pewarna Indonesia DKI Jakarta. Diskusi digelar di Hotel Jhon's Pardede Jl. Raden Saleh I No 9-11 Jakarta Pusat. Diskusi dipersiapkan oleh Pantiia yang dikoordinir oleh Tony Ermando dan Moshedayan dari DPD Pewarna DKI Jakarta.
Narasumber yang hadir dalam diskusi kemarin sore hingga malam (18 November 2016) adalah Pdt Cahyadi Nugroho (API), Djasarmen Purba (MUKI), Ir Agus Susanto (Bamag LKK Indonesia), moderator diskusi adalah Deddy P. Tambunan. Diskusi dihadiri oleh puluhan orang, selain para pewarta anggota Pewarna Indonesia, juga hadir tokoh-tokoh kristiani, seperti Pdt Harsanto Abi (Ketum API), Pdt Ferry Haurissa (Sinode GBI), Johnny N. Simanjuntak (mantan Komisioner Komnas HAM), Ir. Alex Paath (Wasekjen MUKI), John Panggabean, SH (Advokat, pemilik Tabloid Suara Agape), Djahmada Girsang (Penasehat/Ketua LBH Pewarna Indonesia), dan lain sebagainya.
Pdt. Cahyadi menguraikan tentang makna dari kesejarahan gerakan reformasi gereja, yang menekankan bahwa esensi gerakan reformasi gereja adalah kembali ke bentuk asli, yakni Back To The Bible, hal ini dikarenakan adanya kesadaran saat itu bahwa praktek kegerejaan banyak tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, dan terjadi pelanggaran-pelanggaran ajaran Alkitab itu sendiri.
Djasarmen Purba menjelaskan bahwa realitas kegerejaan di Indonesia cenderung sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tidak menyadari telah mengabaikan pentingnya pengkaderan umat untuk bidang khususnya sosial dan politik.
Ir Agus Susanto menjabarkan kesejarahan eksistensi kegerejaan di Indonesia yang pada masa lalu, tokoh-tokoh kegerejaan di Indonesia sangat kental sikap pro-eksistensi nya dibanding masa kini yang cenderung co-eksistensi. Tidak sedikit tokoh-tokoh kristen sekalipun berbeda sukubangsa dan denominasi gereja, tapi mampu menampikan kiprah dan sikap terhadap persoalan kebangsaan, dan juga mampu berpikir futuristik untuk masa depan Indonesia.
Pembahasan diskusi kemarin malam menghasilkan sejumlah poin penting, diantaranya : realitas kegerejaan di Indonesia mengalami deformasi (semangat ajaran reformasi gereja mandek, tidak berjalan dengan baik), gereja harus kembali diingatkan tentang pentingnya pengkaderan umat secara khusus bidang sosial dan politik (termasuk didalamnya ekonomi kesejahteraan), Pewarna Indoensia diharapkan dapat melakukan penelusuran sejarah dan pengkajian tentang sejaran kiprah tokoh-tokoh kristen (gereja) dalam sejarah Indonesia, dan perlu diskusi serial lebh lanjut agar semangat peringatan 5 Abad Reformasi Gereja pada 2017, dapat menjadi momentum perbaikan eksisten kegerejaan di Indonesia. (DPT)