Skip to content Skip to navigation

KOMNAS PEREMPUAN - MENATA LANGKAH MAJU : KAJIAN PENYIKAPAN KONFLIK 20 TAHUN REFORMASI

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pagi hingga siang hari ini (Rabu 23 Mei 2018), mengadakan pertemuan dalam rangka evaluasi 20 tahun perjalanan reformasi.

Pertemuan yang bertajuk Menata Langkah Maju, beragendakan penyampaian oleh Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu tentang Kajian Perkembangan Kebijakan Penyikapan Konflik Selama 20 Tahun Reformasi untuk Pemajuan Pemenuhan HAM Perempuan dan Pembangunan Perdamaian, dan pembahasan terhadap kajian tersebut dengan pihak-pihak terkait, diantaranya Kemendagri, Kemensos, Kemeneg PPA, Bappenas, dan Bareskrim Polri, dan puluhan undangan dari aktivis penggiat advokasi perempuan, diadakan di Puri Ratna Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta Pusat.

Kajian yang dilakukan Komnas Perempuan berdasarkan 5 pilar penyikapan konflik untuk pemenuhan HAM Perempuan, yang dirumuskan sebagai Peta Jalan Baru.

Lima pilar penyikapan tersebut, yakni :

1. Pilar Perlindungan

2. Pilar Pertanggungjawaban Hukum

3. Pilar Pemulihan Korban

4. Pilar Pencegahan dan Jaminan Tidak Berulang

5. Pilar Partisipasi

Selain 5 pilar penyikapan, kajian juga memiliki 6 kerangka rujukan pemikiran, yakni : perlindungan kemanusiaan, perdamaian dan keamanan, menghapus diskrminasi dan menuju keadilan transformatif, memutus impunitas dan keadilan transisi, pembangunan berkelanjutan, dan melawan ekstrimisme dengan kekerasan dan ujaran kebencian.

Kajian Komnas Perempuan yang setebal 100 halaman, mendapatkan 5 temuan utama, sebagai berikut :

1. 20 tahun reformasi memperlihatkan adanya kemajuan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia.Tetapi kemajuan tersebut belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan (khususnya korban konflik) dan untuk membangun perdamaian yang sejati. Hal ini disebabkan karena kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi, dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak-hak perempuan korban.

2. Kerangka kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi, dan kemunduran tersebut, adalah konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses reformasi yang mengalami defisit demokrasi.

3. Cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis, menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghasilkan konflik baru, dan mengukuhkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, termasuk antara laki-laki dan perempuan.

4. Komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyeleggara negara yang terbatas, serta cara kerja yang belum koordinatif, menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk, tidak bekerja maksimal, dan program penanganan konflik serta dampaknya menjadi kurang efektif, minim inovasi, dan abai pada pengalaman khas perempuan dalam konflik.

5. Kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya, belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal, bahkan sebaliknya dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi, dan bahkan mengkriminalkan.

Kajian Komnas Perempuan mendorong munculnya 6 rekomendasi, yaitu :

1.Mengintegrasikan penyikapan konflik secara holistik ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045, dan RPJMN 2020-2025), untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai.

2. Mengembangkan cara kerja yang lebih komprehensif dan holistik dalam penyikapan konflik.

3. Menguatkan perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam penyikapan konflik.

4. Menyusun dan melaksanakan langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok-kelompok rentan diskriminasi.

5. Memastikan visabilitas perempuan, terutama korban konflik, dalam proses pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan representatif disemua tingkatan.

6. Mengembangkan ketahanan masyarakat/ketahanan sosial dalam mengantisipasi kerentanan baru dan mencegah berulangnya konflik, serta berkontribusi pada perlindungan dan pemulihan korban dan warga terimbas konflik. (DPT)

Share

Advertorial