Skip to content Skip to navigation

PGI GELAR KONFERENSI PERS SIKAPI MASALAH YERUSALEM DAN PERAYAAN NATAL DI MONAS

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kemarin siang (Jumat 15 Desember 2017) bertempat di Gedung Grha Oikoumene lantai 3 Jl Salemba Raya No. 10 Jakarta Pusat, menggelar pertemuan konferensi pers. Jeirry Sumampouw Kepala Humas PGI menjelaskan kepada puluhan awak media dari berbagai media, “Konferensi pers ini kita laksanakan untuk merespon perkembangan-perkembangan terakhir, sesuai dengan apa yang kita alami, dan memang setiap menjelang Natal dan Tahun Baru kita sering melakukan acara-acara seperti ini”.

Jeirry lebih lanjut mengemukakan bahwa, “Memang akhir-akhir ini banyak sekali isu berkembang yang memerlukan respon dari otoritas lembaga-lembaga gereja. Mulai dari isu Yerusalem sampai Monas, lalu ada biasanya juga diakhir-akhir tahun seperti ini, selalu ada gejolak atau ancaman-ancaman radikalisme dan terorisme. Kita tahu beberapa hari yang lalu, ada penangkapan teroris me, dan biasanya setiap Natal-Tahun Baru, setiap gereja selalu dijaga ketat oleh aparat kepolisian. Jadi termasuk juga beberapa hal yang mungkin perlu kita sikapi berkaitan dengan situasi sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang di Natal dan akhir tahun ini”.

Ketua Umum Majelis Pekerja Harian PGI Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat-Lebang, mengawali penyampaian siaran pers siang tadi, dengan menjelaskan mengenai pesan natal bersama PGI dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). “Kepada semua warga gereja, semoga perayaan Natal itu sungguh-sungguh memberikan makna bagi kehidupan masyarakat, kehidupan warga gereja, kesaksiannya ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Tema pesan Natal PGI dan KWI pada tahun ini adalah Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah Dalam Hatimu”.

Ketua Umum MPH PGI yang akrab disapa Pendeta Eri, melanjutkan penjelasannya bahwa, “Sebagaimana kita ketahui, bahwa situasi kita seringkali menimbulkan ketakutan-ketakutan, seringkali menimbulkan ketidakpedulian satu terhadap yang lain, gesekan-gesekan, dan berbagai hal yang memprihatinkan ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, tema Damai Sejahtera ini menjadi tema yang kami pikirkan menjadi tema yang sangat didambakan oleh semua orang. Damai sejahtera di Bumi, ini yang diharapkan, dan itu juga berita Natal yang pertama “Damai Sejahtera”, supaya damai sejatera terjadi ditengah-tengah dunia ini”. Lanjut Pendeta Eri, “Berkenaan dengan apapun yang terjadi dengan pengalaman kita, kami dalam pesan Natal itu, kami mengajak umat kristiani untuk memaknai Natal, sambil juga peka terhadap masalah-masalah yang terjadi, memberikan respon mereka dalam kasih, dalam semangat perdamaian, dan dalam semangat persaudaraan, semangat kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Apapun yang terjadi walaupun ada hal-hal yang mungkin mengancam kesatuan kita, dan sudah kita lihat, hendaknya jangan kita tanggapi secara tergopoh-gopoh, tetapi hendaknya tanggapan kita, kita lakukan dalam semangat perdamaian. Betapapun perbedaan-perbedaan pandangan yang ada, kita hadir dalam masyarakat majemuk, tetapi bagaimana kesatuan bangsa kita ini, perlu rawat bersama, perlu kita bangun bersama. perdamaian, keadilan, kebenaran, itulah yang menjadi keprihatinan kita semua, dan lewat pesan Natal ini, kami mengajak, mengingatkan warga gereja untuk lebih menghayati makna natal sebagaimana tadi saya sampaikan.”

Melanjutkan penjelasan Ketum MPH PGI, Pdt. Dr. Albertus Patty salah seorang Ketua MPH PGI, mengemukakan “PGI mengeluarkan tema Natal Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah Dalam Hatimu, memang tidak terlepas dari konteks persoalan masa kini. Kita melihat bahwa, persoalan-persoalan belakangan ini, justru memunculkan adanya poteni perpecahan, baik secara internal gereja, tetapi juga didalam konteks kebangsaan kita, bahkan dalam dunia ini sekaligus”

Pendeta yang akrab disebut Pendeta Berti, menjelaskan lebih lanjut “Apa saja misalnya potensi-potensi perpecahan yang justru sekarang ini menciptakan seperti kultur perpecahan, kultur konflik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Yang pertama kita bisa melihat adanya rencana gagasan perayaan natal di Monas, misalnya. Gagasan seperti ini, sebetulnya gak apa-apa, tetapi secara internal gereja menimbulkan kontroversi perdebatan didalam gereja sendiri. Ini bisa gak, atau oke apa tidak, apakah natal di Monas ini akan merupakan bagian dari usaha instrumentalisasi agama, atau politisasi agama atau tidak, dan sebagainya”.

Pendeta Berti mengemukakan lebih lanjut, “Berdasarkan itu, kami sebagai PGI hendak mengatakan bahwa ayo kita sikapi secara damai. Tetapi sekaligus, kita juga ingin mengatakan jangan pernah gunakan agama, jangan gunakan perayaan-perayaan agama, termasuk natal sekalipun untuk kepentingan politik. Jangan sampai lakukan instrumentalisasi  politik terhadap perayaan-perayaan natal, atau paskah, atau apapun yang sebetulnya bertujuan untuk kepentingan politik jangka pendek. Hal yang kedua yang kita lihat, bahwa persoalan-persoalan, misalnya dalam konteks keputusan sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang memutuskan untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibukota dari Israel. Keputusan ini bukan saja memecah belah kami internal gereja, ada yang pro ada yang kontra, dan sebagainya, tetapi keputusan ini juga bisa memecah belah kita sebagai umat beragama, karena memang biar bagaimanapun Yerusalem adalah satu kota dimana baik Kristen, Islam, maupun Yahudi, itu memiliki sejarah yang cukup panjang dan fundamen disitu, dan sekaligus baik Kristen, Yahudi, dan Islam itu memiliki kaitan emosional dan spiritual dengan kota itu, tetapi sekaligus Yerusalem adalah kota dimana milik bersama, artinya bahwa dimana Bangsa Palestina dan Bangsa Yahudi atau Israel memiliki akar sejarah yang sama kuat juga disitu, sehingga keputusan yang dilakukan oleh Donald Trump ini, sebetulnya bukan saja dia menghancurkan proses perdamaian yang sedang terjadi dilakukan selama bertahun-tahun, dia bukan saja melanggar kesepakatan dari bangsa-bangsa, bahwa Yerusalem ini berada dibawah, sebetulnya, pengawasan dari PBB. Tetapi keputusan Trump ini juga, merupakan sebuah ilusi sebetulnya, ilusi bahwa dengan memutuskan Yerusalem sebagai ibukota Israel, seolah-olah persoalan Yerusalem itu selesai, tidak mungkin. Persoalan Israel, persoalan Yerusalem sebetulnya hanya bisa dipecahkan bukan melalui intervensi bangsa Amerika Serikat, tetapi dia harus dipecahkan melalui dialog yang mungkin panjang, yang mungkin berat, tetapi itu harus diselesaikan melalui dialog, melalui bangsa Palestina, dan bangsa Israel sendiri, merekalah yang harus membuat perdamaian itu sehingga terjadi perdamaian yang abadi ditengah-tengah bangsa, bukan saja antara Israel dengan Palestina, yang rakyatnya terdiri dari Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi juga dia akan menciptakan perdamaian antara Israel dan Palestina itu akan menciptakan perdamaian regional dikawasan Timur Tengah, tetapi juga perdamaian antar dunia ini. Biar bagaimana, penganut Yahudi, penganut Islam, maupun penganut Kristen, dianut hampir seluruh bangsa didunia ini. Dan yang terakhir ingin dikatakan, oleh karena itu persoalan Yerusalem adalah sebetulnya suatu persoalan, meskipun punya ikatan emosional keagamaan, tetapi itu persoalan politik, persoalan tanah air Palestina dan Israel. Oleh karena itu, jangan pernah dikena-kenakan, terutama bagi bangsa Indonesia ini, jadi isu agama, dipolitisasi jadi isu agama yang kemudian akan memecah belah bangsa kita sendiri. Itu harus tetap kita masukan dalam kerangka persoalan politik Palestina dan Israel, yang tentu saja mungkin ada kaitan emosional antara Yahudi, Kristen, dan Islam. Tetapi sekaligus kita harus berpikir bersama-sama didalam konteks perdamaian menyeluruh antara Israel, Palestina, tetapi juga perdamaian antara regional di Timur Tengah itu sendiri. Jadi itu sebetulnya yang kita lihat, dan bahwa ada persoalan-persoalan terorisme, radikalisme, instrumentalisasi agama yang nanti kemungkinan akan diterapkan didalam pilkada 2018 dan pemilu 2019, yang bisa memecah belah kesatuan bangsa kita, oleh karena itu sekali lagi, tema Natal ini sebetulnya hendak mengatakan yuk kita sebagai umat beragama, marilah kita menyikapi seluruh persoalan-persoalan itu dengan kematangan, dengan pikiran yang lebih rasional, bukan dengan emosional, bukan dengan pikiran yang sektarian, primordialisme, tetapi berpikirlah didalam konteks kebaikan bangsa ini”.

Pendeta Eri menjelaskan makna kesukacitaan natal dan tema Natal PGI-KWI, “PGI dan KWI setiap tahun mengeluarkan pesan natal. Pesan Natal yang hendak mengajak warga jemaat, warga gereja, untuk merayakan natal, memaknainya sesuai dengan makna dari natal itu sendiri. Dalam iman kristiani, natal ini merupakan sebuah peristiwa dimana dikenang, bagaimana Allah peduli terhadap manusia, dengan kelahiran Yesus dikandang Betlehem, dan itu sendiri sudah mempunyai makna, bagaimana perayaan itu dirayakan dalam sukacita”. (DPT)

Share

Advertorial