
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak, akan diadakan untuk gelombang I pada 9 Desember 2015 di 265 daerah, dan untuk gelombang II direncanakan dilaksanakan pada 2017.
Dinamika dan polemik seputar Pilkada Serentak, hingga saat ini tidak berhenti menjadi pembahasan banyak pihak, tidak hanya pada kalangan pemerintahan, partai politik, tetapi juga masyarakat secara luas. Namun demikian, berdasarkan pengamatan Gerejani Dot Com, ada suatu hal yang perlu diwaspadai oleh kita bersama terkait dengan dinamika politik pemilihan di Indonesia.
Sejak era reformasi dimulai beberapa belas tahun lalu, begitu banyak perubahan terjadi diIndonesia, tidak hanya dalam konteks infrastruktur politik, tetapi juga suprastruktur politik Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan politik telah dibuat dan diubah, begitu pula dengan bermunculannya berbagai lembaga yang mengurusi politik dan demokratisasi Indonesia, sebut saja Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, belum lagi sejumlah badan-badan ad-hoc kenegaraan/pemerintahan, yang keanggotaan/kepengurusannya dilakukan melalui politik pemilihan secara terbuka dan independen, seperti Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komnas Perempuan, KPAI, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dsb.
Hal yang perlu diwaspadai dimaksud ialah titik jenuh masyarakat terhadap realitas politik di Indonesia, sejak pemilu ditahun 2004 hingga kini, tingkat kepuasan masyarakat terhadap partai politik dan lembaga politik belum pada tingkat yang tinggi, sekalipun partisipasi dalam pemilu masih menunjukkan angka yang cukup besar. Berbagai persoalan (termasuk konflik dan kericuhan) yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden-Wapres, dan Pilkada, ataupun kasus-kasus hukum yang melanda/melibatkan unsur pimpinan daerah, hingga kini masih kerap menghiasi media pemberitaan baik nasional maupun lokal.
Hingga saat ini, masyarakat telah mengikuti agenda politik Pemilu 2004, Pemilukada, Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan kini Pilkada Serentak. Persoalan perekonomian, persoalan kesejahteraan, persoalan hukum, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar yang kian melemah, daya beli masyarakat yang rendah, pengangguran yang masih tinggi, minimnya lapangan kerja, dan berbagai persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan lainnya, seakan menjadi 'bom waktu', dan bila Pemerintah secara khusus, lengah mencermati potensi titik jenuh masyarakat, maka dikhawatirkan pada Pemilu 2019, pemilu serentak antara pemilihan legislatif dan kepemimpinan nasional (Pilpres), titik jenuh masyarakat bisa mencapai puncaknya, dan itu berarti bisa menjadi potensi bencana politik. (DPT)