Skip to content Skip to navigation

UKI Gelar Diskusi Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Cipta Musik dan Lagu

Hak Cipta adalah hak yang sifatnya eksklusif, yang berarti hak yang semata-mata hanya diperuntukkan bagi pencipta dan atau pemegang hak ciptanya,
karenanya tidak ada pihak lain yang dapat menga mbil manfaat ekonomi tanpa izin dari pencipta dan atau dari pemegang hak ciptanya. UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disingkat dengan UUHC) menentukan bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi pencipta wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan.

UUHC menetapkan bahwa untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta menjadi anggota LMK agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial. Permasalahan muncul adalah, apakah seorang pencipta atau pemegang hak cipta lagu atau musik yang belum
menjadi anggota dari suatu LMK dapat menuntut pihak lain (user) yang mempergunakan karya ciptanya tanpa izin?

Secara khusus, pengaturan tindak pidana pelanggaran hak cipta musik atau lagu terdapat dalam Pasal 113 UU No. 28 tahun 2014. Menurut Dekan FH UKI, Hulman Panjaitan, S.H., MM., pengaturan tindak pidana yang ada dalam Pasal 113 tersebut justru merupakan suatu langkah
mundur dalam memberikan perlindungan hukum kepada pencipta lagu atau musik.

"Dengan memperhatikan jenis tindak pidana pelanggaran hak cipta sebagai suatu delik aduan (klacht delict) sebagaimana diatur dalam undang undang ini, dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya keberadaan dan kehadiran UU ini justru merupakan langkah mundur dalam memberikan perlindungan hukum bagi pencipta di Indonesia, karena undang undang Hak Cipta yang baru ini telah menjadikan pelanggaran hak cipta sebagai suatu delik aduan," ucap Hulman Panjaitan.

Untuk menjawab berbagai permasalah seputar Perlindungan Hak Cipta, khususnya pemegang hak cipta lagu atau musik, Universitas Kristen Indonesia yang pada tanggal 15 Oktober 2017
akan merayakan Dies Natalis ke-64, menggelar Diskusi Interaktif yang menjadi salah satu acara dalam rangkaian kegiatan Dies Natalis UKI dan Dies Natalis Fakultas Hukum UKI.

Tema diskusi "Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Cipta Musik dan Lagu". Acara digelar pada Rabu, 20 September 2017, di Auditorium Grha William Soeryadjaya, Gedung Fakultas Kedokteran UKI, Cawang, pukul 09.00-12.00 WIB, menghadirkan 5 (lima) pembicara, yakni: Yasonna H. Laoly, S.H., M. Sc., Ph. D (Menkumham RI, Keynote Speech, diwakili Timbul Sinaga Direktur Sinaga), Dr. Dra. Erni Widyasthari, Apt., M. Sc., (Direktur Hak Cipta & Desain Industri DJKI Kemenkumham RI, diwakili Budi Suratno), Ir. James Freddy Sundah (Artis, Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), Dahuri, S.E. (Praktisi/ Pemerhati Karya Cipta Musik dan Lagu), dan
Hulman Panjaitan, S.H., M.H (Dekan Fakultas Hukum UKI/Akademisi).

Timbul Sinaga dalam paparannya menegaskan bahwa urusan hak cipta dan ekonomi kreatif, dapat mendorong penciptaan lapangan kerja, dan tidak begitu membutuhkan banyak moda ataupun teknologi.

Lebih lanjut Timbul menjelaskan, didunia permohonan pendaftaran hak cipta didominasi Cina sebanyak 1 juta lebih, sementara sedunia hanya berkisar 2 jutaan, dan dari 2 jutaan tersebut, Indonesia hanya mampu sekitar 1200 an.

"Banyak hak cipta secara dunia, yang belum didaftarkan di Indonesia, dan ini bisa menjadi peluang untuk kita mengemangkan industri kreatif" ujar Timbul.

Diskusi yang dihadiri ratusan orang tersebut, juga diwarnai pemberian sertifikat hak paten kepada Dosen dan Peneliti UKI, satu diantaranya kepada Dekan FH UKI Hulman Panjaitan. Juga diadakan pelantikan Lembaga Sentra Karya Cipta oleh Rektor UKI Maruarar Siahaan. Lembaga ini diketuai oleh Hulman Panjaitan.

Budi Suratno menjelaskan bahwa berdasar UU Hak Cipta terbaru No.28 Tahun 2014, telah hadir lembaga baru yang mengurusi soal royalti dari suatu karya cipta.

James F. Sundah mengemukakan bahwa Indonesia sebenarnya bisa memanfaatkan isu hak cipta untuk mendatangkan pemasukan bagi negara, karena dicontohkan James, Malaysia yang hanya punya 5 akar musik, dapat menghasilkan 480 milyar rupiah setahun dari urusan royalti, Indonesia yang mempunyai 400 akar musik tentunya bisa mengghasilkan lebih dari itu.

Dahuri mengemukakan bahwa perlu ada kejelasan dan koordinasi antara LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) dengan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional). Saat ini ada 3 LMK, yaitu LMK KCI, LMK RAI, dan LMK WAMI.

Hulman menyoroti bahwa UU No.28 Tahun 2014, sebenarnya mengandung aturan yang justru bertentangan dengan hukum, yakni adanya ketentuan mediasi. "Siapa yang menjadi pihak mediasi, lalu bagaimana bisa ada mediasi dalam kasus pidana, apakah dengan adanya mediasi akan hilang unsur pidananya?"

Diskusi peserta dengan para pemateri pun tidak kalah seru dengan paparan narasumber. (DPT)

Share

Advertorial