
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), jelang akhir tahun 2019, dan dalam rangka mensikapi berbagai persoalan kebangsaan, khususnya terkait dengan masalah intoleransi dan radikalisme keagamaan, kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), dan potensi disintegrasi, bertempat di Grha Oikoumene Lt. 3 Jl. Salemba Raya 10 Jakarta Pusat, Jumat (20 Desember 2019), mengadakan Refleksi Akhir Tahun "Intoleransi Masih Tinggi : Darurat Pancasila atau Pembiaran Negara?".
Sekretaris Umum GAMKI Sahat M.P Sinurat, saat membuka diskusi, dalam sambutan pembukaannya menyampaikan bahwa Diskusi Refleksi Akhir Tahun GAMKI, dilaksanakan dalam rangka mengevaluasi kondisi intoleransi sepanjang 2019 di Indonesia.
“Sebenarnya bahwa peristiwa intoleransi sebenarnya tidak banyak, jauh lebih banyak toleransi yang baik di daerah-daerah di Indonesia. Tetapi seperti pepatah bilang, gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga. Ini menjadi perhatian pemerintah dan kita bersama,” jelas pria jebolan ITB ini.
Hadir sebagai narasumber diskusi refleksi akhir tahun, Sudarto (Pusat Studi Antar Komunitas - PUSAKA Kota Padang), Sandra Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Johnny N. Simanjuntak (praktisi hukum, penggiat HAM, mantan Komisioner Komnas HAM), Ronald R Tapilatu (Ketua Bidang Keadilan dan Perdamaian DPP GAMKI),
dan Wakil Direktur Imparsial, Gufron.
Diskusi dihadiri juga oleh Ketua Umum DPP GAMKI Willem Wandik, Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat M.P Sinurat, beberapa fungsionaris DPP GAMKI, beberapa mantan Ketua Umum DPP GAMKI, Amir L. Sirait, juga Alex Paath, Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API) Pdt. Harsanto Adi, Sekretaris Jenderal DPP Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI), beberapa fungsionaris PERWAMKI, dan puluhan undangan lainnya.
Diskusi refleksi secara khusus, meresponi tindakan pelarangan pelaksanaan ibadah dan perayaan Natal di sejumlah wilayah di Sumatera Barat, yakni sebagaimana terjadi di Kabupaten Sijunjung wilayah Dharmasraya.
Sudarto menjelaskan, bahwa memang ada larangan berupa tidak memberikan ijin merayakan Natal, larangan tersebut sudah berlangsung sejak 2007.
“Larangan itu memang bukan dari Bupati, tapi itu datang dari Kepala Nagari (setingkat Desa). Dan surat itu ditembuskan ke Muspida dan Komnas HAM Perwakilan. Jadi kalau ada mengatakan tidak ada larangan, ya nggak benar juga,” ungkap Sudarto.
Kasus yang terjadi di Kabupaten Sijunjung, HKBP dengan 120 KK, Katolik 30 KK, dan lainnya memang seharusnya sudah diberikan tempat ibadah. “Meski saya bukan Kristen, saya ikut menyumbang untuk tempat ibadah. Tiap tahun ada larangan, dan tapi sudah tiap tahun juga umat Kristen mengajukan izin, tapi tidak dipenuhi,” jelas Sudarto.
Sementara itu, Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM, mengemukakan bahwa info yang diperoleh Komnas HAM, larangan di Dharmasraya, datang dari walinagari. "Apakah konteksnya, itu bagian dari negara? Tidak, karena mereka bagian masyarakat. Apakah mereka bisa bertindak semena-mena? Tidak juga, karena tidak hak mereka untuk melarang masyarakat menjalankan praktek agama" tegas Sandra.
“Terlepas dari larangan walinagari itu, yang terpenting negara harus memberikan hak apalagi mereka sudah lama mengajukannya. Jadi harus ada perlindungan dari negara,” ujar Sandra.
Persoalan seperti ini tidak hanya di Sumbar tetapi juga dibebeeapa daerah lain seperti di Aceh Singkil, tambah Sandra.
“Terkait intoleransi memang ada daerah-daerah yang memang terlihat kaku, seperi Aceh, Sumbar, Banten, Madura (kasus Syiah). Di sisi lain, ada daerah cukup akomodatif biaa menyelesaikan. Jika ditanya apakah ini darurat Pancasila, saya lebih setuju darurat konstitusi atau hukum, lebih relevan. Ini krisis konstitusi atau hukum,” tegas Sandra.
DPP GAMKI yang diwakili Ronald Tapilatu, mempertanyakan mengapa peristiwa intoleransi ini terus berulang? Apakah negara ini penuh kedamaian? Apakah selama ini perdamaian semu saja, seperti kerikil dalam sepatu.
“Minoritas itu bukan hanya umat Kristen, di beberapa daerah bisa sebaliknya. Karena itu itu tugas bersama kita dan terutama pemerintah,” ujar Ronald yang juga Koordinator Desk Papua PGI.
Gufron yang hadir mewakili Direktur Imparsial Al Araf, mengemukakan bahwa bicara kebebasan beragama di Indonesia, seperti kasus di Sumatera Barat, sebenarnya merefleksikan situasi umum kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini idak hanya terjadi di Sumbar, Aceh, Jawa Barat dan lainnya, beber Gufron.
Dalam persfektif politik, sebenarnya Indonesia dihadapkan kepada relasi kuasa mayoritas versus minoritas. Kelompok kedua (minoritas) hak sering dimarginalkan. Ada tiga hal terkait terjadinya tantangan kebebasan beragama yaitu pertama terkait perundang-undangan sudah lengkap tetapi ada disharmoni.
“UUD sudah mengatur HAM satu Bab sendiri yang menjamin kebebasan beragama. Sayang masih ada disharmoni peraturan di bawahnya masih kerap bertentangan. Misalnya peraturan bersama menteri, dan lainnya,” jelas Gufron.
Lebih lanjut Gufron menjelaskan, problem terkait atraksi beragama yang cenderung bisa membatasi kebebasan pihak beragama. Ketiga, problem ketertiban politik, stablitas politik. “Yang penting kan tidak ada demo, situasi aman, tapi ada di situ pelarangan kebebasan beribadah yang melanggar HAM,” ujarnya. Praktek terjadi bias mayoritas. Sebagian besar kasus kebebasan beribadah dan pendirian rumah ibadah.
“Di Indonesia orang beribadah ke Tuhan kok jadi sesuatu yang rumit. Saya bisa beribadah dimana saja, tetapi kenyataannya tidak bisa semua merasakan ini. Tugas pemerintah menjamin peribadatan semua masyarakat" ujar Gufron.
Johnny N. Simanjuntak, eks Komisioner Komnas HAM, yang masih aktif menjadi penggiat HAM, mensikapi aksi ataupun tindakan intoleransi, mengusulkan agar saatnya dibuat UU Perlindungan Kebebasan Umat Beragama.
“Sampai sekarang UU itu belum disahkan meski RUU ini sudah lama, tapi tampaknya hanya isu di pemilu. Harusnya negara aktif dalam hal ini. Apalagi urusan agama adalah urusan pusat. Karena itu Presiden bisa memerintahkan Kapolri hingga ke jajaran dibawahnya. Memang urusan membangun tempat ibadah, itu urusan daerah, karena itu Jokowi tidak bisa menuntaskan Yasmin,” ujar Johnny.
Lebih lanjut Johnny menjelaskan, sekarang ini harusnya negara tidak dikelola orang strong man, tetapi dikelola orang wise. Dulu dikelola tentara yang strong man tetapi no wise. “Saya kira negara ini perlu dikelola strong man but wise,” tuturnya.
Johnny yang juga praktisi hukum, sebagaimana Sandra Moniaga, dirinya pun sepakat bahwa kondisi Indonesia saat ini, lebih kepada darurat konstitusi daripada darurat Pancasila. (DPT)
