
Pelaksanaan pemilukada tahun 2010, masih menyisakan cukup banyak daerah yang belum melaksanakannya. Hingga kini akhir bulan Mei kemarin, sudah 39 pemilukada dilaksanakan, dan beberapa diantaranya berbuntut kerusahan, seperti Mojokerto, Sibolga, Flores Timur, dan Bengkayang.
Berdasarkan uraian Nur Hidayat Sardini Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI, beberapa waktu lalu beserta KPU, menjelaskan bahwa pra-kondisi kerusuhan terjadi karena : regulasi/peraturan teknis yang tumpang tindih, pelaksanaan tahapan pemilukada yang tidak konsisten dan tidak jelas, dan netralitas penyelenggara, pengawas, pemda, dan penegak hukum.
Namun berdasarkan telaah Tim Gerejani, ada faktor lain yang lebih fundamental, dan faktor tersebut justru yang seharusnya dapat dideteksi secara dini oleh pihak-pihak terkait, khususnya pemerintah dan parlemen, agar tidak mencuat.
Faktor yang Tim Gerejani maksudkan ialah runtuhnya nasionalisme saat ini, seiring pelaksanaan pemilukada (dulu pilkada). Bila kita ingat ketika pelaksanaan pilkada beberapa tahun lalu, wacana putra daerah menguat, dan banyak pihak yang menyatakan keberatan dengan wacana tersebut. Belum lagi beberapa daerah yang sepertinya menekankan syariat agama tertentu, menerapkan syarat tambahan pilkada, seperti mampu melafalkan ayat-ayat kitab suci.
Belum lama ini Mendagri melontarkan wacana tentang tidak pernah melakukan perbuatan amoral, dan wacana inipun menyebabkan terjadinya silang pendapat.
Menjadi pertanyaan bagi kita semua dengan pemberlakuan pemilukada, apakah dalam rangka pendewasaan daerah menuju kesejahteraan dan keadilan yang merata? Seharusnya syarat yang berlaku adalah apa yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bila seperti ini pelaksanaan pemilukada, dan Bawaslu maupun KPU tidak selaras dan searah dalam mengawal pelaksanaan pemilukada, terlebih lagi aparat penegak hukum tidak konsisten dengan nasionalisme, maka pemilukada secara langsung harus dipertimbangkan, untuk tidak diteruskan, bila Indonesia tidak ingin langsung mengalami perpecahan.
Perhatikan saja pernyataan calon Gubernur Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah, yang menekankan tentang asal usul suku sebagai penguatan pencitraan diri.
Pencitraan seperti itu pada dasarnya tidak akan menjadi masalah, bila saja khalayak mempunyai pemahaman yang cukup baik, namun bila tidak, maka hal kesukuan, tidak akan menjadi pencitraan (dalam artian kebersamaan dalam pluralitas bangsa), tetapi menjadi benih konflik horisontal. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, dapat mengancam keutuhan NKRI.
Ingat saja pesan moral Bang Napi yang selalu muncul pada suatu stasiun TV swasta nasional, yang selalu mengatakan "Waspadalah..! Waspadalah..!". (DPT)