
Dunia medsos seakan menjadi fenomena paling berpengaruh dalam soal urusan kampanye politik, terutama yang mengarah kepada black campaign, black propaganda atau negative campaign. Kita tentu tahu, para buzzer terutama telah menjadi semacam “pasukan khusus atau pasukan hantu” dalam melakukan kampanye politik, meskipun secara personal, bisa saja mereka bukan pendukung salah satu kandidat yang ada. Dalam dunia maya, fenomena buzzer yang berkampanye untuk salah satu kandidat tertentu tidak sepenuhnya murni sebagai pendukung, karena ada juga yang bekerja profesional dengan tujuan memperoleh imbalan tertentu.
Istilah buzzer atau bot, memang dikenal dalam dunia maya sebagai suatu aktivitas seseorang atau kelompok tertentu yang sengaja membuat propaganda terhadap produk politik (kontestan) dengan tujuan menimbulkan gangguan terhadap produk politik kompetitor. Sejatinya, istilah buzz merujuk kepada istilah dalam dunia marketing yang memiliki aktivitas sama, yaitu memunculkan gangguan terhadap produk yang sedang diluncurkan kompetitor. “Buzzer/ Influencer” adalah seseorang yang didengarkan opininya, dipercayai, dan membuat orang lain bereaksi setelahnya.” Jeff Staple, pengamat sosial media.
Fenomena Kerja Politik Buzzer
Fenomena buzzer dan penggunaan media sosial sebagai media kampanye, bukanlah hal baru. Sejak media sosial booming dengan jumlah pengguna yang besar, para politisi juga berupa memanfatkannya dengan baik dalam menunjang kerja-kerja politiknya. Belakangan ini, upaya itu lebih terorganisir. Ada tim khusus yang dibentuk, agar kerja politik sistematis dan lebih rapi. Perang antar Buzzer di media sosial rebutan opini, rebutan trending topik.
Salah satu alasan menguatnya tren pemanfaatan jasa buzzer, adalah makin besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia, seperti data yang dirilis oleh Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia. Berdasarkan data Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (PUSKAKOM UI), Data pengguna internet di indonesia tahun 2015 mencapai angka 88,1 juta atau hampir mencapai 40 % dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya.
Fakta menarik lainnya adalah DKI Jakarta merupakan kota dengan pengguna media sosial twitter terbesar di dunia. Dengan Data pengguna sosial media 2015 tersebut membuktikan bahwa penggunaan media sosial sebagai media kampanye sangat efektif dan bersifat personal. Maka kehadiran buzzer atau penggiat media sosial menjadi relevan untuk image building. Jakarta memiliki jumlah pengguna Twitter terbesar di antara kota-kota lain di seluruh dunia, menurut lembaga riset pasar media sosial Semiocast.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia, dengan separuh populasi berumur kurang dari 30 tahun sehingga merupakan lokasi yang ideal untuk menjalankan kampanye media sosial.
Buzzer Bayaran Mahal, Bidikan Pajak
Seorang Buzzer politik akan dibayar dengan nominal tertentu sesuai dengan kualifikasinya masing-masing. Buzzer yang sudah tinggi jam terbangnya dan memiliki banyak followers akan mendapatkan bayaran yang cukup mahal.
Harga buzzer yang followernya dibawah 10.000 biasanya dihargai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Akan tetapi yang followersnya ratusan ribu, apalagi jika akunnya di follow oleh orang-orang terkenal, maka per twitnya bisa mencapai 5-10 juta rupiah. Para buzzer media sosial tersebut biasanya di kontrak oleh calon dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa dibayangkan berapa penghasilan seorang buzzer per bulan.
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan masyarakat yang memanfaatkan media sosial untuk meraup keuntungan dikategorikan sebagai wajib pajak. “Kalau ada keuntungan, ya, kena pajak penghasilan,” katanya di kompleks DPR, Jakarta, Rabu malam, 12 Oktober 2016.
Pernyataan Ken itu menjawab pertanyaan terkait dengan pihak pengguna media sosial mana saja yang dikenai pajak penghasilan. Ken lalu membenarkan bahwa pemilik toko dalam jaringan (online) dan pelaku kegiatan endorsement produk termasuk kategori tersebut.
Tak terkecuali, menurut Ken, buzzer dan selebgram di sejumlah media sosial, seperti Instagram dan Facebook. Soal tarif yang berlaku tak berbeda dengan tarif pajak penghasilan yang selama ini diterapkan.
Kegiatan jual-beli online dan endorsement di media sosial marak terjadi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkirakan potensi penerimaan pajak dari kegiatan tersebut bisa mencapai US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 15,6 triliun.
Ditjen Pajak kini tengah mengkaji mekanisme penerapan pajak terhadap para pelaku kegiatan tersebut. Selain mekanisme, Ditjen Pajak mengkaji besaran tarif yang akan diterapkan bagi setiap jenis bisnis yang berjalan di media sosial.
Buzzer Bisa Menjadi Masalah Hukum
Ketua Dewan Pers Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo mengatakan bahwa setiap bulan ada saja laporan terkait media yang menyebarkan berita atau artikel palsu alias hoax. “Laporan ini,” katanya, “kita tindak-lanjuti untuk memverifikasi media dan berita yang disebarkan tersebut … [termasuk] dengan mengecek struktur, alamat, dan kontak redaksi”. Pengaduan yang diterima Dewan Pers sangat beragam. Ada foto rekayasa artis, ada rekayasa cuitan akun Twitter pesohor, ada pula kasus pencemaran nama baik terhadap pemuka organisasi. Ada juga kasus media abal-abal yang menyebarkan kampanye culas, memainkan kerja propaganda, kelewatan partisan, yang berasal dari kedua kubu calon presiden 2014. Tetapi ada pula kasus serius ketika peran Dewan Pers sangat dibutuhkan sebagai mediator.
Laporan dan pengaduan terkait polah media di era internet ke Dewan Pers ini setiap tahun cenderung naik, dan paling banyak terjadi pada 2014 ketika pemilihan presiden telah mendorong intensitas kebohongan dan pemelintiran informasi. “Ada sekitar 800 pengaduan,” kata Stanley.
Kebebasan ini sudah disalahgunakan. Mereka mengatasnamakan pers, tapi motifnya sebagai buzzer dan tim sukses salah satu pasangan. Ada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, dan sisanya menggunakan media seperti ini sebagai alat kejahatan. Indonesia Cyber Law Community (ICLC) menilai aparat penegak hukum harus mempidanakan para buzzer yang kerap menyebar fitnah dan berita bohong. Buzzer harus dipidana untuk memberikan shock therapy.
Chairman and Founder Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Afriyadi mengatakan, buzzer yang menyerang personal pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta bisa dijerat pidana. Jika buzzer tersebut menyebarkan konten berisi fitnah, berita bohong atau SARA.
Polri memantau aktivitas di media sosial terkait perhelatan pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah dengan mengerahkan cyber patrol di media sosial. "Kita kerahkan cyber patrol. Dari tiap Polda itu ada, termasuk Polres, dan Polri juga ada. Manakala ada berita yang berbau SARA, akan kita amati dan telusuri. Kalau itu intens menyebarkan isi provokatif, akan kami tindak dan tangkap pelakunya," ujar juru bicara Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto. "Apabila unsur pidananya masuk, akan dilakukan pelacakan intens, dan akan ditangkap pelakunya," sambungnya.
Ketua Bawaslu Muhammad menyatakan bahwa kendala yang dihadapi saat kampanye di media sosial adalah ulah para buzzer dan sulitnya mengendalikan jumlah akun yang bermunculan. "Mau sehebat apapun alat untuk mengawasi, tetapi resistensi dari buzzer masih kuat. Menit ini kita blok, menit berikutnya muncul lagi". (DPT, berbagai sumber)
