
Indonesia adalah suatu negara demokrasi yang memiliki begitu banyak kemajemukan, baik secara kultur, bahasa, agama, suku, dan lain sebagainya. Itu semua merupakan ciri khas Indonesia. Kemajemukan Indonesia tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja, tetapi harus dijaga dan dipertahankan.
Unit Pelayanan Kerohanian dan Konseling Universitas Kristen Indonesia, yang sudah berdiri lebih dari dua dekade, tidak hanya melayani kebutuhan lingkup UKI, tetapi juga masyarakat umum, dalam rangka menggugah kesadaran dan kepentingan bersama terkait dengan upaya menjaga dan mempertahankan kemajemukan Indonesia, UPKK-UKI hari ini (5 April 2017) bertempat di Auditorium Grha William Soeryadjaya (GWS FK UKI), menggelar Seminar Kebangsaan bertajuk “ Merawat Kemajemukan Dalam Bingkai NKRI”.
Seminar mengundang hadir narasumber Romo Benny Susetyo (Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI), Zannuba A. C. R. ‘Yenny’ Wahid (Direktur Eksekutif Wahid Foundation), Dr. Refly Harun, SH., MH., LLM (Pakar Hukum Tata Negara), dan Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe (Mantan Ketua PGI, Senior Fellow Leimena Institute), dengan moderator Sidratahta Mukhtar.,Msi (Dosen FISIPOL UKI). Seminar dihadiri oleh sekitar 100 undangan dari berbagai kalangan dan latarbelakang.
Namun disayangkan, dua narasumber oleh karena satu dan lain hal, tidak bisa hadir, yakni Zannuba ‘Yenny’ Wahid dan Refly Harun. Meskipun demikian, seminar tetap dilaksanakan dan tidak mengurangi bobot pembahasan oleh dua narasumber yang hadir, yaitu Romo Benny Susetyo dan Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe.
Romo Benny dalam paparannya mengurai tentang relasi dan keterkaitan antara pemahaman agama, sindrom minoritas-mayoritas, dan konstitusi negara. Romo Benny yang juga aktif dalam lembaga Setara Institute, menyoroti bahwa persoalan kita sebenarnya bukan pada masalah minoritas-mayoritas, tetapi persoalan konstitusi berbangsa dan bernegara.
“Setiap warga negara mempunyai kewajiban menjaga konstitusi negaranya” demikian ditegaskan Romo Benny dalam mensikapi realitas persoalan bernuansa SARA yang belakangan kembali marak mencuat. Menurut Romo Benny, negara harus hadir dengan konstitusi dalam menangani persoalan bernuansa SARA tersebut, dan negara (dalam artian konstitusi) tidak boleh kalah dengan apapun upaya-upaya bernuansa SARA yang kini marak menjadi persoalan.
Romo Benny mengungkapkan bahwa semestinya agama tidak menjadi aspirasi, tetapi harus menjadi inspirasi, sehingga bila agama menjadi inspirasi, maka dengan demikian agama dapat menjadi milik bersama.
Sementara paparan Pdt. Yewangoe menyoroti kesejarahan hadirnya bangsa dan negara Indonesia. “Ketika kita memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu, kita bukan hanya sekadar memproklamirkan kemerdekaan kita, melainkan juga mendeklarasikan bahwa kita adalah SATU BANGSA, dan bahwa bangsa itu sekarang sudah ada di atas pentas sejarah dunia: Indonesia. Bangsa ini setara dengan bangsa-bangsa beradab lainnya di dunia ini’ demikian disampaikan Pdt. Yewangoe.
Proses ‘lahirnya’ Indonesia pada tahun 1945, dipersiapkan melalui suatu pembahasan dan perdebatan yang sarat dengan pandangan visioner dari para pendiri bangsa. Saat itu ada dua kelompok besar aliran yang sama-sama mempunyai pandangan tentang Indonesia yang akan dilahirkan, oleh Pdt. Yewangoe disebut dengan ‘aliran islam’ dan ‘aliran kebangsaan’.
Pada 17 Agustus 1945 terjadilah Proklamasi, dengan demikian menegaskan, negara yang diproklamasikan itu adalah Negara Kebangsaan atas dasar Pancasila. Negara itu adalah “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI), demikian diuraikan Pdt. Yewangoe. Namun demikian, proses perjalanan kesejarahan Indonesia, tidak selesai mulus sampai disitu. Lebih lanjut Pdt. Yewangoe menjelaskan, jalan panjang masih harus ditempuh oleh para pendiri bangsa dan negara ini, oleh karena kepolitikan dari pihak negara kolonial Belanda.
Pdt. Yewangoe kemudian menguraikan proses perjalanan kesejarahan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, pada fase dekade-dekade berikutnya, Indonesia mengalami beberapa kali peristiwa yang menjadi ‘ujian’, Adakah Indonesia akan bertahan sebagai Indonesia, sebuah bangsa yang berbhinekka tunggal ika dan bernegara kebangsaan? Merespon pertanyaan ini, Pdt. Yewangoe berpendapat “Saya kira kita tetap akan berada dalam dinamika ini. Identitas kemajemukan kita yang mestinya terterima (given) akan berada dalam keterancaman dari upaya-upaya untuk menyeragamkan segala sesuatu”.
Lebih lanjut Pdt. Yewangoe mengungkapkan pemikirannya “Akhir-akhir ini kita juga mengalami berbagai aktivitas organisasi-organisasi trans-nasional. Ada upaya untuk mendirikan Khalifah seturut model abad-abad pertengahan, di mana batas-batas geografi negara bangsa akan dihilangkan. Kalau ini sungguh-sungguh terjadi, maka negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu berada dalam ancaman untuk bubar. Maka harus dicegah sedini mungkin agar kita tidak terjebak dalam konflik-konflik berkepanjangan tak ada ujung yang tidak perlu”.
Mencermati realitas keindonesiaan masa kini, Pdt. Yewangoe berpandangan “Sudah pasti kita menginginkan masyarakat majemuk kita dipelihara, dirawat dan dijaga dengan baik. Dialektika (interplay) antara “kemajemukan” (bhinneka) dan “kesatuan” (tunggal) harus nampak dalam setiap kinerja, aturan-aturan dan perundang-undangan. Sebagai demikian, civil society (masyarakat berkeadaban) harus terus-menerus diperkuat dan diperkembangkan. Tanpa civil society yang kuat, rasanya sulit kita melangkah maju. Hal memperkuat civil society itu harus dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan pada segala aras (PAUD, TK, SD, SMU dan Universitas). Bahkan harus dimulaidari dalam rumah tangga, yaitu menanamkan kepada sang anak bahwa tetangga yang berbeda itu bukanlah musuh. Secara positif ditanamkan pengertian bahwa hidup dalam dunia yang di dalamnya masyarakatnya majemuk tidak perlu ditakuti, sebaliknya kita bersyukur sebab dengan demikian kita diperkaya dengan berbagai cara hidup dan cara tindak”.
Tentang NKRI Ini juga harus ditafsirkan secara dinamis dan dihidupi secara manusiawi. Tidak statis dan kaku, apalagi cenderung mendehumanisasi manusia. Bagi Pdt. Yewangoe “Kendati NKRI adalah cita-cita Proklamasi kita, tetapi ia tidak mempunyai tujuan di dalam dirinya. NKRI bukan berhala. NKRI adalah wadah yang di dalamnya keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang diwujudkan. Di dalam NKRI cita-cita kemerdekaan sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudnyatakan. Dengan sedikit memvariasikan sabda Yesus: NKRI diciptakan untuk manusia, bukan manusia untukNKRI”. (DPT)
